Gejala ADHD pada Anak yang Harus Diwaspadai Orang Tua

anak sedang mempertahankan fokusnya selama belajar

Setiap anak punya energi dan tingkat fokus yang berbeda-beda. Namun, jika Bapak dan Ibu melihat anak tampak sulit diam, mudah terdistraksi, atau sering mendapat teguran di sekolah karena kesulitan mengikuti arahan, hal ini perlu diwaspadai. 

Memang benar bahwa perilaku seperti ini terkadang masih tergolong wajar. Tetapi, bila perilaku ini berlangsung terus-menerus dan mengganggu kegiatan sehari-hari, ada kemungkinan anak mengalami ADHD (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder). 

Lantas, apa itu ADHD dan apa saja gejalanya yang harus Bapak & Ibu ketahui? Simak artikel ini selengkapnya. 

Pengertian ADHD

ADHD, atau Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, adalah gangguan perkembangan saraf yang membuat seseorang kesulitan untuk fokus, cenderung hiperaktif, dan sering bertindak impulsif. Kondisi ini biasanya muncul sejak masa kanak-kanak dan dapat memengaruhi kehidupan anak di sekolah, rumah, maupun lingkungan sosial.

Sebagai orang tua, mengetahui bahwa si kecil memiliki ADHD tentu terasa sangat mengkhawatirkan. Namun, penting dipahami bahwa ADHD bukan karena pola asuh yang salah atau karena anak “nakal.” ADHD terjadi karena perbedaan perkembang otak yang membuat anak lebih sulit mengendalikan perhatian, emosi, dan perilakunya dibanding anak seusianya.

Jenis ADHD pada Anak

Secara umum, ada tiga jenis ADHD yang biasanya muncul:

  • Tipe Inattentive (Kesulitan Memusatkan Perhatian)

Anak sering tampak melamun, mudah terdistraksi, atau sulit menyelesaikan tugas. Mereka mungkin lupa menaruh barang, sulit mengikuti instruksi, atau tampak “terbang” saat bermain atau belajar.

  • Tipe Hyperactive-Impulsive (Hiperaktif dan Impulsif)

Anak cenderung bergerak terus-menerus, sulit duduk diam, atau berbicara tanpa henti. Mereka juga bisa bertindak terburu-buru tanpa memikirkan konsekuensi, misalnya memotong pembicaraan atau mengambil barang orang lain tanpa izin.

  • Tipe Kombinasi (Inattentive + Hyperactive-Impulsive)

Anak menunjukkan gejala gabungan dari kedua tipe sebelumnya, yaitu kesulitan fokus sekaligus hiperaktif dan impulsif.

Mengenali jenis ADHD yang dialami anak akan sangat membantu orang tua dan tenaga profesional menentukan strategi dan intervensi yang tepat, sehingga anak bisa lebih mudah belajar, beradaptasi, dan berkembang sesuai potensinya.

Gejala ADHD

Menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), gejala ADHD terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu Inattention (kurang perhatian) dan Hyperactivity & Impulsivity (hiperaktif dan impulsif).

1. Inattention (Kurang Perhatian)

Anak dengan ADHD tipe inattention cenderung mengalami masalah fokus dan konsentrasi. Beberapa gejala yang bisa diperhatikan, antara lain:

  • Sering membuat kesalahan ceroboh dalam tugas sekolah atau kegiatan sehari-hari

  • Sulit mempertahankan perhatian pada tugas atau aktivitas panjang

  • Terkesan tidak mendengarkan saat diajak bicara langsung

  • Sering gagal menyelesaikan instruksi, tugas, atau pekerjaan rumah

  • Kesulitan mengatur kegiatan atau tugas (misalnya jadwal, materi sekolah)

  • Menghindari tugas yang memerlukan usaha mental berkelanjutan, seperti membaca panjang atau mengerjakan PR

  • Sering kehilangan barang penting (alat tulis, buku, mainan, atau seragam)

  • Mudah terganggu oleh suara atau aktivitas di sekitarnya

  • Sering lupa melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya melupakan tugas rumah atau lupa membawa bekal

2. Hyperactivity & Impulsivity (Hiperaktif dan Impulsif)

Pada tipe ini, anak tampak sangat aktif dan kesulitan mengendalikan dorongan dalam diri. Gejala yang bisa muncul meliputi:

  • Sering gelisah, menggoyang-goyangkan tangan atau kaki, atau sulit duduk diam

  • Sering keluar dari tempat duduk di situasi yang seharusnya duduk tenang, seperti di kelas

  • Berlari atau memanjat di situasi yang tidak pantas

  • Sulit bermain atau melakukan kegiatan santai dengan tenang

  • Terlihat “selalu bergerak” atau seolah digerakkan oleh motor

  • Bicara berlebihan, bahkan di saat tidak tepat

  • Menjawab pertanyaan sebelum pertanyaan selesai diajukan

  • Kesulitan menunggu giliran, misalnya saat bermain atau antre

  • Sering menyela pembicaraan atau mengganggu aktivitas orang lain

Kriteria Tambahan

Selain gejala utama di atas, ada beberapa kriteria tambahan untuk mendiagnosis ADHD:

  • Beberapa gejala sudah muncul sebelum usia 12 tahun

  • Gejala muncul secara konsisten selama minimal 6 bulan dan terlihat di dua atau lebih latar lingkungan, misalnya di rumah dan sekolah

  • Gejala yang muncul benar-benar mengganggu keseharian anak, baik secara akademik maupun sosial

  • Gejala tidak bisa dijelaskan oleh kondisi medis atau gangguan lain

Segera Hubungi Profesional Jika Anak Menunjukkan Gejala ADHD

Bapak dan Ibu, perlu dipahami bahwa ADHD adalah kondisi yang hanya bisa dipastikan melalui evaluasi profesional, bukan sekadar dari observasi sepihak orang tua. Jadi, jika anak menunjukkan gejala ADHD secara konsisten, jangan ragu untuk segera mencari bantuan psikolog atau dokter spesialis anak. 

Hindari melakukan self-diagnose, karena melabeli anak tanpa pemeriksaan yang tepat bisa membuat anak merasa tertekan, menurunkan rasa percaya diri, dan menghambat tumbuh kembangnya. Lebih jauh lagi, self-diagnose dapat membuat penanganan menjadi salah arah, menutupi kemungkinan adanya kondisi lain yang lebih serius, bahkan menimbulkan stigma sosial yang justru merugikan anak.

Dengan demikian, jangan menunda untuk berkonsultasi dengan profesional, karena semakin cepat dilakukan evaluasi, semakin besar peluang anak mendapatkan intervensi yang tepat.

Blubridge Center: Pusat Terapi ABA untuk Anak dengan ADHD

Mengasuh anak dengan ADHD bukanlah hal yang mudah. Anak sering kesulitan untuk fokus, sering bergerak tanpa henti, atau bertindak impulsif sehingga memengaruhi kesehariannya di rumah maupun di sekolah. Akibatnya, Bapak dan Ibu tentu sering merasa kewalahan.

Blubridge Center memahami tantangan tersebut dan hadir untuk membantu anak dengan ADHD menggunakan terapi Applied Behavior Analysis (ABA). Terapi ini mendorong anak mengurangi berbagai perilaku yang menghambat dengan memberikan penguatan perilaku positif. 

Melalui metode terapi yang terstruktur, konsisten, dan personal, anak akan belajar mengelola perilakunya sehari-hari, meningkatkan fokus, serta mengembangkan keterampilan komunikasi. Dengan demikian, anak bisa menunjukkan perkembangan signifikan dari hari ke hari.

Oleh karenanya, jangan ragu untuk memulai langkah kecil hari ini bersama Blubridge Center agar si kecil bisa tumbuh lebih mandiri dan bahagia. Segera hubungi tim kami untuk membuat janji konsultasi dan daftarkan si kecil mengikuti terapi ABA di Blubridge Center Surabaya.


Referensi:

https://www.nhs.uk/conditions/adhd-children-teenagers/ 

https://www.cdc.gov/adhd/signs-symptoms/index.html 

https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/adhd/symptoms-causes/syc-20350889 

Kenali Gejala Autisme pada Anak

Setiap orang tua tentu ingin anaknya tumbuh sehat, bahagia, dan berkembang sesuai usianya. Namun, pada sebagian anak, ada kondisi gangguan perkembangan yang memengaruhi cara mereka berkomunikasi, berinteraksi, dan berperilaku. Kondisi ini dikenal sebagai Autism Spectrum Disorder (ASD).

Gejala autisme bisa terlihat sejak usia dini, tetapi sering kali luput dari perhatian karena mirip dengan perilaku anak pada umumnya. Padahal, semakin cepat orang tua mengenali gejalanya, semakin besar peluang anak untuk mendapatkan terapi yang tepat lebih awal sehingga perkembangannya lebih optimal.

Pengertian Autisme

Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah kondisi perkembangan saraf yang memengaruhi cara anak berkomunikasi, berinteraksi dengan orang lain, serta pola perilaku sehari-harinya. Disebut “spektrum” karena setiap anak dapat menunjukkan gejala dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda, mulai dari yang ringan, sedang, hingga berat. 

Autisme bukanlah penyakit yang bisa “disembuhkan”, melainkan kondisi seumur hidup. Namun, hal ini tidak berarti anak dengan autisme tidak bisa berkembang. Mereka hanya membutuhkan cara belajar dan pendekatan yang berbeda. Dengan intervensi yang tepat, anak dengan autisme bisa berkembang, belajar, beradaptasi lebih baik, dan tumbuh mencapai potensinya.

Gejala Autisme pada Anak

Lantas, apa saja gejala autisme pada anak? Menurut DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition), seorang anak baru bisa didiagnosis mengalami autisme apabila menunjukkan semua gejala yang termasuk dalam dua kategori besar berikut:

1. Defisit dalam Komunikasi dan Interaksi Sosial

Gejala ini berkaitan dengan kesulitan anak dalam menjalin hubungan dan berinteraksi.

a. Timbal balik sosial-emosional: Anak kesulitan memahami dan merespons emosi orang lain. Misalnya:

  • Tidak menatap mata ketika diajak bicara

  • Jarang tersenyum balik ketika diajak bercanda

  • Tidak merespons saat dipanggil namanya, seolah tidak mendengar

  • Lebih suka bermain sendiri daripada bersama teman sebaya

b. Penggunaan komunikasi nonverbal: Anak sulit menggunakan atau memahami bahasa tubuh, ekspresi wajah, atau intonasi suara. Misalnya:

  • Jarang menunjuk benda yang diinginkan

  • Tidak mengangguk atau menggeleng untuk mengatakan “ya” atau “tidak”

  • Ekspresi wajah cenderung datar meskipun sedang senang atau marah

c. Pengembangan dan pemeliharaan relasi sosial: Anak mengalami kesulitan menjalin pertemanan atau menjaga hubungan sosial. Misalnya:

  • Tidak tahu cara memulai percakapan dengan teman

  • Tidak paham bagaimana cara bergiliran dalam permainan

  • Tidak menunjukkan minat untuk berbagi pengalaman, misalnya memperlihatkan mainan yang disukai kepada orang tua

2. Pola Perilaku, Minat, atau Aktivitas yang Terbatas dan Berulang

Selain kesulitan komunikasi, anak dengan autisme juga menunjukkan pola perilaku tertentu.

a. Gerakan atau ucapan berulang, misalnya:

  • Mengibaskan tangan berulang kali (flapping)

  • Mengulang kata atau kalimat yang sama (ekolalia)

  • Menyusun mainan dengan pola tertentu, misalnya menyusun balok hanya dalam satu garis lurus

b. Rutinitas yang sangat kaku, seperti:

  • Hanya mau makan makanan dengan merek atau warna tertentu

  • Menangis keras jika rute ke sekolah berubah

  • Tidak bisa tidur tanpa mengikuti urutan ritual tertentu

c. Minat terbatas dan sangat kaku

  • Sangat terobsesi pada satu topik, misalnya dinosaurus atau angka

  • Hanya mau bermain dengan satu jenis mainan saja

  • Bisa menghabiskan waktu berjam-jam memperhatikan benda berputar seperti kipas angin

d. Hipersensitif sensorik

  • Menutup telinga saat mendengar suara keras, meskipun suara itu wajar (misalnya blender)

  • Sangat terganggu dengan tekstur pakaian tertentu

  • Justru mencari sensasi tertentu, seperti mencium atau menjilat benda berulang kali

Kriteria Tambahan

Selain dua kategori utama di atas, DSM-5 juga memberikan kriteria tambahan untuk memastikan diagnosis autisme tepat.

  • Gejala muncul pada awal masa perkembangan anak

Biasanya mulai terlihat sebelum anak berusia 3 tahun. Misalnya, anak belum bisa mengucapkan kata sederhana, tidak menunjuk benda yang diinginkan, atau tidak merespons nama sejak kecil.

  • Gejala mengganggu keseharian anak

Artinya, perilaku atau kesulitan komunikasi membuat anak sulit mengikuti kegiatan sehari-hari. Misalnya, tidak bisa mengikuti kegiatan belajar di sekolah, sulit bermain dengan teman, atau sering tantrum di tempat umum.

  • Gejala tidak disebabkan oleh disabilitas intelektual

Meskipun ada beberapa kesamaan gejala, autisme berbeda dengan disabilitas intelektual. Anak dengan autisme bisa saja memiliki kecerdasan rata-rata atau bahkan di atas rata-rata, tetapi tetap menunjukkan kesulitan dalam interaksi sosial dan perilaku.

Kapan Harus Mencari Bantuan Profesional?

Jika Bapak & Ibu melihat gejala-gejala di atas muncul secara konsisten, penting untuk segera berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti dokter anak, psikolog, atau psikiater.

Hindari melakukan self-diagnose, karena autisme memiliki spektrum yang luas dan membutuhkan penilaian khusus dari ahlinya. Melakukan diagnosis sendiri berisiko membuat anak terlambat mendapatkan penanganan yang tepat atau bahkan salah arah.

Semakin dini anak mendapat evaluasi dan intervensi profesional, semakin besar peluang mereka untuk berkembang optimal sesuai potensinya.

Terapi ABA sebagai Solusi untuk Anak dengan Autisme

Salah satu terapi yang paling banyak digunakan untuk membantu anak dengan autisme adalah terapi Applied Behavior Analysis (ABA). Sederhananya, terapi ini membantu anak memahami perilaku mana yang baik untuk dilakukan, serta bagaimana menggantinya dengan perilaku baru yang lebih bermanfaat.

Melalui pengulangan, pujian, dan pendekatan yang terstruktur, anak dibimbing untuk berkembang langkah demi langkah. Dengan terapi ABA, anak bisa:

  • Belajar meningkatkan kemampuan komunikasi

  • Mengurangi perilaku berulang yang bisa mengganggu aktivitas sehari-hari

  • Lebih mudah beradaptasi dengan rutinitas dan lingkungan sekitarnya

Di Surabaya, Blubridge Center hadir sebagai pusat terapi ABA terpercaya yang telah membantu banyak anak dengan autisme berkembang lebih baik. Setiap anak didampingi oleh terapis berpengalaman dan tersertifikasi, sehingga orang tua bisa merasa tenang karena si kecil berada di tangan yang tepat.

Selain itu, program terapi di Blubridge Center selalu disesuaikan dengan kebutuhan unik setiap anak. Kami percaya bahwa setiap anak memiliki potensi berbeda, sehingga pendekatan yang digunakan pun dirancang secara personal agar hasilnya lebih optimal.

Tidak hanya itu, Blubridge Center juga menghadirkan lingkungan yang aman, hangat, dan penuh empati, sehingga anak merasa nyaman saat belajar dan berlatih keterampilan baru.

Jika Bapak dan Ibu melihat gejala autisme pada anak, jangan menunggu lebih lama. Segera hubungi admin Blubridge Center untuk membuat janji konsultasi, agar si kecil bisa segera mendapatkan dukungan yang tepat sejak dini.


Referensi:

https://www.cdc.gov/autism/signs-symptoms/index.html 

https://www.nhs.uk/conditions/autism/signs/children/ 

https://www.autismspeaks.org/signs-autism 

https://www.autismspeaks.org/autism-diagnostic-criteria-dsm-5#:~:text=It%20stated%20that%20an%20autism,and%20in%20developing%2C%20maintaining%20and

Apakah Speech Delay Selalu Termasuk Autisme? Ini Faktanya!

anak belajar bicara dengan meniru ucapan ibunya

Banyak orang tua merasa khawatir ketika anak mereka mengalami keterlambatan bicara atau speech delay. Kekhawatiran ini tentu sangatlah wajar, karena kemampuan berbicara merupakan salah satu tonggak penting dalam tumbuh kembang anak. Tak jarang pula ketika kemampuan bicara anak belum berkembang sesuai usianya, orang tua langsung mengaitkannya dengan gejala autisme.

Bapak dan Ibu, penting untuk dipahami bahwa speech delay tidak selalu identik dengan autisme. Ada banyak faktor lain yang dapat menyebabkan speech delay, dan tidak semuanya berkaitan dengan gangguan spektrum autisme. 

Dalam artikel ini, kami akan membantu Bapak & Ibu memahami apa saja penyebab speech delay, kapan perlu waspada, serta menemukan solusi terapi yang tepat untuk si kecil.

Pengertian Speech Delay

Pada dasarnya, speech delay adalah kondisi ketika seorang anak mengalami keterlambatan dalam menguasai kemampuan berbicara dibandingkan anak-anak seusianya. 

Memang benar bahwa setiap anak berkembang dengan kecepatan berbeda, namun ada rentang usia normal yang bisa dijadikan acuan dalam mengecek apakah perkembangan bicara anak tergolong terlambat atau tidak.

Berikut tahapan perkembangan bahasa yang biasanya dicapai anak seiring pertambahan usia:

  • Usia 12 bulan: Bayi biasanya mulai mengucapkan kata sederhana seperti “mama” atau “papa” dan sudah memahami bahwa kata itu merujuk pada orang tua.

  • Usia 18 bulan: Anak dapat menyebutkan beberapa kata, menunjuk benda yang dimaksud, dan memahami beberapa instruksi sederhana.

  • Usia 2 tahun: Anak umumnya bisa merangkai 2 kata sederhana, misalnya “mau susu” atau “ayah pergi.”

  • Usia 3 tahun: Anak sudah bisa menyusun kalimat pendek dengan lebih jelas dan bisa lebih dipahami oleh orang lain, misalnya “kucing makan ikan.”

Jika pada usia-usia tersebut anak belum menunjukkan kemampuan bicara sesuai tahapnya, kondisi ini bisa menjadi tanda speech delay. Orang tua harus segera mencari bantuan profesional untuk evaluasi lebih lanjut agar anak bisa mendapatkan penanganan yang tepat lebih cepat.

Penyebab Speech Delay

Meski autisme sering dikaitkan dengan speech delay, kenyataannya kondisi ini bisa terjadi karena berbagai alasan. Beberapa di antaranya adalah:

  • Gangguan Pendengaran

Anak yang mengalami gangguan pendengaran akan kesulitan menirukan bunyi atau kata. Kondisi ini bisa membuat perkembangan bicaranya terhambat.

  • Kurangnya Stimulasi Bahasa

Anak yang jarang diajak berkomunikasi, dibacakan buku, atau mendengar percakapan sehari-hari mungkin tidak mendapatkan cukup stimulasi untuk melatih bicaranya.

  • Masalah Anatomi Mulut

Gangguan pada anatomi mulut, seperti lidah pendek (tongue tie), celah langit-langit, atau otot mulut yang lemah bisa memengaruhi kemampuan anak dalam mengucapkan kata dengan jelas.

  • Gangguan Perkembangan Saraf

Kondisi medis tertentu, misalnya cerebral palsy atau gangguan sistem saraf lainnya, dapat menyebabkan anak kesulitan mengontrol otot-otot bicara.

  • Riwayat Trauma Kepala

Cedera atau trauma yang memengaruhi otak juga bisa menjadi penyebab anak mengalami kesulitan dalam berbicara.

Jadi, speech delay tidak secara otomatis menunjukkan bahwa anak mengalami autisme. Orang tua perlu mengidentifikasi dulu apa penyebabnya agar anak mendapat terapi atau dukungan yang sesuai.

Kapan Orang Tua Harus Waspada?

Lantas, kapan speech delay masih dianggap bagian dari variasi perkembangan bahasa anak, dan kapan kondisi ini patut dicurigai sebagai tanda autisme? Jawabannya bisa dilihat dari gejala lain yang menyertai.

Beberapa gejala autisme anak yang sering muncul bersamaan dengan speech delay antara lain:

  • Menghindari kontak mata

  • Tidak merespons ketika dipanggil namanya

  • Lebih suka bermain sendiri dibanding berinteraksi dengan orang lain

  • Menunjukkan perilaku repetitif, seperti bertepuk tangan terus-menerus atau menyusun mainan dengan pola tertentu

  • Sulit memahami instruksi sederhana

Jika anak mengalami speech delay sekaligus menunjukkan beberapa gejala di atas, orang tua sebaiknya segera melakukan evaluasi lebih lanjut dengan bantuan psikolog atau tenaga profesional lainnya. Langkah ini sangatlah penting agar anak bisa mendapat intervensi lebih awal.

Cara Kerja Terapi ABA dalam Membantu Perkembangan Anak dengan Autisme

Salah satu terapi yang terbukti efektif untuk anak dengan autisme, termasuk yang mengalami speech delay, adalah Applied Behavior Analysis (ABA). Terapi ABA merupakan pendekatan berbasis ilmu perilaku yang berfokus pada penguatan perilaku positif dan pengurangan perilaku yang menghambat perkembangan.

Dalam konteks anak dengan speech delay, ABA membantu mereka belajar berkomunikasi secara bertahap melalui strategi yang terstruktur dan konsisten. Anak tidak hanya diajarkan untuk meniru kata, tetapi juga diarahkan agar bisa menggunakan bahasa sesuai kebutuhan sehari-hari.

Melalui terapi ABA, anak akan dilatih untuk:

  • Mengembangkan kemampuan komunikasi, mulai dari kontak mata hingga berbicara dengan lebih jelas.

  • Belajar merespons pertanyaan dan instruksi sederhana.

  • Mengurangi perilaku repetitif yang bisa mengganggu komunikasi.

  • Meningkatkan keterampilan sosial sehingga anak lebih mudah berinteraksi dengan orang lain.

Di sinilah Blubridge Center hadir sebagai pusat terapi ABA di Surabaya yang mendampingi anak dengan autisme maupun speech delay. Dengan tim terapis berpengalaman, program yang dipersonalisasi sesuai kebutuhan anak, serta lingkungan belajar yang nyaman, Blubridge Center membantu anak untuk mengatasi hambatan komunikasi dan mengembangkan keterampilan sosial untuk mendukung aktivitas sehari-hari.

Dengan pendampingan yang tepat, anak tidak hanya terbantu mengatasi speech delay, tetapi juga berkembang lebih percaya diri dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.

Penutup

Jadi, apakah speech delay selalu termasuk autisme? Jawabannya, tidak selalu. Ada banyak penyebab keterlambatan bicara yang tidak terkait autisme. Namun, jika speech delay disertai tanda-tanda autisme lainnya, penting bagi Bapak & Ibu untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Jangan tunggu sampai terlambat. Segera hubungi admin Blubridge Center untuk membuat janji konsultasi dan membantu anak Anda mendapatkan terapi yang sesuai kebutuhannya.


Referensi

https://www.autismparentingmagazine.com/speech-delay-vs-autism/ 

https://mosaicearlyintervention.com.au/speech-delay-vs-asd/  

https://singaporebrain.co.id/top-5-causes-of-speech-language-delay-in-children/#:~:text=Damage%20to%20a%20particular%20region%20of%20the,is%20a%20common%20side%20effect%20of%20stroke.  

https://www.klinikpela9.com/apakah-speech-delay-berarti-autism/  

https://www.ciputramedicalcenter.com/penyebab-speech-delay/#:~:text=atau%20terapi%20pendengaran.-,2.,dapat%20memengaruhi%20perkembangan%20bayi%20mereka


Apa Itu Ekolalia? Ini Gejala, Penyebab & Cara Mengatasinya

anak sedang berlatih berbicara bersama orang tua

Pernahkah Bapak & Ibu mendengar si kecil mengulang kata atau kalimat yang baru saja didengar, entah dari orang tua, teman, guru, atau bahkan dari televisi? Perilaku ini disebut ekolalia.

Sebenarnya, mengulang kata adalah hal yang sangat wajar dalam proses anak belajar bicara. Namun, jika kebiasaan ini terus berlanjut dan intensitasnya terlalu berlebihan, ekolalia dapat menjadi gejala gangguan perkembangan yang serius, seperti autisme.

Lantas, apa itu ekolalia, jenis-jenisnya, penyebab, dan bagaimana cara mengatasinya? Artikel ini akan membahasnya dengan lengkap.

Apa Itu Ekolalia?

Ekolalia adalah kondisi ketika seseorang mengulang kata atau kalimat yang baru saja didengar. Pengulangan ini bisa terjadi secara langsung (tepat setelah anak mendengar kata atau kalimat) atau tertunda (beberapa menit hingga beberapa jam setelahnya).

Pada anak-anak usia dini, ekolalia sebenarnya bisa menjadi bagian normal dari perkembangan bahasa. Anak akan selalu menirukan ucapan orang dewasa untuk belajar berbicara. 

Namun, jika ekolalia bertahan terlalu lama, intensitasnya tinggi, atau tidak sesuai konteks, kondisi ini bisa mengindikasikan adanya gangguan yang perlu diperhatikan, seperti autisme spectrum disorder (ASD) atau afasia.

Jenis-Jenis Ekolalia

Ekolalia dikelompokkan ke dalam beberapa kategori, seperti:

  • Immediate & Delayed Echolalia

Immediate echolalia adalah pengulangan kata atau kalimat yang terjadi langsung setelah anak mendengar. Contohnya, saat orang tua bertanya, “Mau makan?”, anak langsung berbicara, “Mau makan?” tanpa memberikan jawaban yang sesuai.

Sementara itu, delayed echolalia adalah pengulangan yang terjadi beberapa saat kemudian, bahkan bisa berjam-jam atau berhari-hari setelah anak mendengar kata atau kalimat tersebut. Misalnya, anak tiba-tiba mengulang iklan TV yang pernah ditonton sehari sebelumnya.

  • Communicative & Semi-communicative Echolalia

Communicative echolalia berarti anak mengulang kata atau kalimat untuk tujuan komunikasi, misalnya sebagai cara meminta sesuatu, menenangkan diri, atau menunjukkan respon. 

Sebaliknya, semi-communicative echolalia adalah pengulangan terjadi tanpa maksud komunikasi yang jelas, tetapi lebih sebagai kebiasaan atau stimulasi diri.

  • Mitigated & Non-mitigated Echolalia

Mitigated echolalia adalah kondisi ketika anak mengulang kata atau kalimat dengan sedikit modifikasi. Misalnya, orang tua berkata, “Ayo mandi”, lalu anak menjawab “Mandi sekarang”.

Namun, jika pengulangan dilakukan persis sama tanpa perubahan sedikit pun, kondisi ini disebut non-mitigated echolalia.

  • Person-directed & Non-person directed Echolalia

Jika kata atau kalimat diulang untuk merespons langsung lawan bicara, kondisi ini disebut person-directed echolalia. Sebaliknya, bila anak mengulang kata atau kalimat tanpa ada orang yang diajak bicara, misalnya saat sedang sendiri, hal ini disebut sebagai non-person directed echolalia.

Penyebab Ekolalia

Ekolalia bisa muncul karena berbagai alasan, tergantung usia dan kondisi anak. Berikut beberapa penyebab ekolalia yang umum:

  • Perkembangan bahasa normal

Pada anak usia 1–3 tahun, anak wajar meniru kata atau kalimat orang lain sebagai bagian dari proses belajar berbicara.

  • Gangguan spektrum autisme (ASD)

Anak dengan autisme sering menggunakan ekolalia sebagai bentuk komunikasi karena kesulitan membuat kalimat sendiri.

  • Afasia

Ekolalia juga dapat muncul akibat gangguan bahasa yang disebabkan kerusakan otak, misalnya setelah stroke atau cedera.

  • Kelelahan atau stres

Saat merasa cemas, lelah, atau kewalahan, anak bisa mengulang kata-kata sebagai cara menenangkan diri.

  • Gangguan perkembangan lainnya

Kondisi seperti ADHD atau keterlambatan bicara juga dapat memicu perilaku ekolalia.

Mengapa Anak dengan Autisme Menggunakan Ekolalia?

Anak dengan autisme umumnya memiliki cara yang berbeda dalam mengembangkan keterampilan bahasa. Mereka kerap kesulitan menyusun kalimat spontan, sehingga menggunakan pengulangan kata atau kalimat (ekolalia) sebagai bentuk komunikasi.

Selain itu, bagi anak dengan autisme, ekolalia juga bisa menjadi strategi untuk:

  • Mengurangi kecemasan dengan mengulang kata atau kalimat yang sudah familiar sehingga terasa menenangkan.

  • Menyampaikan kebutuhan meskipun belum mampu merangkai kalimat baru, misalnya mengulang kata “minum” untuk meminta air.

  • Belajar bahasa dengan menirukan pola ucapan orang lain sebagai latihan membangun kemampuan berbicara.

Meskipun terkadang terdengar tidak biasa, ekolalia justru bisa menjadi jembatan awal bagi anak dengan autisme untuk mengembangkan kemampuan komunikasi yang lebih efektif.

Bagaimana Terapi ABA Menjadi Solusi Tepat untuk Anak dengan Autisme

Salah satu terapi yang efektif untuk membantu anak dengan autisme mengatasi ekolalia adalah terapi Applied Behavior Analysis (ABA). Melalui terapi ini, anak akan dilatih untuk:

  • Meningkatkan komunikasi fungsional, misalnya belajar menggunakan kata atau kalimat yang sesuai untuk menyatakan kebutuhan.

  • Mengurangi ekolalia yang tidak sesuai konteks, sehingga anak tidak lagi sekadar mengulang kata atau kalimat tanpa makna.

  • Mengganti pengulangan dengan respons yang lebih tepat, seperti menjawab pertanyaan sederhana dengan kalimat baru.

  • Membentuk pola bahasa yang lebih natural, agar anak lebih mudah dipahami dalam interaksi sehari-hari.

Bagi Bapak & Ibu yang sedang mencari tempat terapi terpercaya untuk membantu si kecil mengatasi ekolalia, Blubridge Center hadir sebagai pusat terapi ABA di Surabaya untuk membantu Anda. Keunggulan Blubridge Center antara lain:

  • Dedicated terapis yang berpengalaman dalam menangani anak dengan autisme dengan beragam kebutuhan.

  • Personalized therapy sesuai kebutuhan dan kemampuan masing-masing anak.

  • Pendekatan menyeluruh yang tidak hanya mencakup peningkatan keterampilan komunikasi, tetapi juga kemampuan interaksi sosial dan aktivitas sehari-hari.

Dengan pendekatan terapi ABA yang terstruktur dan konsisten, Blubridge Center membantu anak dengan autisme mengurangi perilaku ekolalia, sekaligus membangun keterampilan komunikasi yang lebih fungsional dan natural.

Penutup

Ekolalia adalah hal yang bisa muncul secara alami pada perkembangan bahasa anak. Namun, jika intensitas dan durasi perilaku ini sudah berlebihan, ekolalia bisa menjadi tanda adanya gangguan yang lebih serius, seperti autisme.

Jika Bapak & Ibu melihat si kecil sering mengulang kata atau kalimat, disertai gejala lainnya yang membuat cemas, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog Blubridge Center, Kami siap mendampingi si kecil dengan terapi ABA yang konsisten dan terarah, agar mereka dapat berkembang lebih optimal.


Referensi:

https://my.clevelandclinic.org/health/symptoms/echolalia 

https://autismawarenesscentre.com/understanding-echolalia-in-autism-spectrum-disorders/ 

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK565908/#:~:text=Echolalia%20can%20be%20immediate%20or,of%20echolalia%20related%20to%20ASD

https://atgtogether.com/echolalia-in-autism-what-it-is-and-how-to-treat-it/#:~:text=Echolalia%20is%20defined%20as%20the,identifying%20the%20proper%20treatment%20method.

Anak Tidak Mau Kontak Mata, Apakah Tanda Autisme?

anak autisme tidak mau melakukan kontak mata

Kontak mata adalah salah satu bentuk komunikasi sederhana yang dilakukan anak. Lewat tatapan, anak bisa menunjukkan rasa ingin tahu, perasaannya, dan merespons orang lain. Biasanya, anak mulai belajar mempertahankan kontak mata sejak ia berusia 6-8 minggu. Dan seiring bertambahnya usia, kontak mata akan semakin sering digunakan anak untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya, misalnya saat bermain, meminta sesuatu, atau berbagi kegembiraan.

Namun, bagaimana jika anak jarang sekali atau bahkan tidak mau melakukan kontak mata? Apakah hal ini menandakan adanya gangguan perkembangan, seperti autisme, atau mungkin ada gangguan lainnya? 

Bapak dan Ibu, memang benar bahwa kesulitan melakukan kontak mata kerap menjadi salah satu ciri autisme. Namun, perlu diingat bahwa tidak semua anak yang enggan kontak mata otomatis mengalami autisme. Ada banyak faktor lain yang bisa memengaruhinya, misalnya anak yang pemalu, cenderung pendiam, atau sedang terlalu fokus pada hal tertentu.

Pentingnya Kontak Mata dalam Perkembangan Anak

Kontak mata merupakan salah satu fondasi awal dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Sejak lahir, kontak mata adalah bentuk komunikasi pertama yang membantu anak merasa aman, terhubung, dan dipahami. Dari sinilah ikatan emosional antara anak dan orang tua juga mulai terbentuk.

Melalui kontak mata, anak belajar:

  • Mengenali ekspresi wajah

  • Merespons emosi orang lain

  • Mengembangkan keterampilan sosial dasar

  • Membangun kedekatan dengan lingkungan sekitarnya

Jika kebiasaan kontak mata ini tidak berkembang sesuai usianya atau bahkan tidak muncul hingga anak berusia 2 tahun, orang tua sebaiknya mulai waspada. Pasalnya, hal ini bisa menjadi tanda adanya keterlambatan dalam kemampuan sosial maupun komunikasi yang perlu dievaluasi lebih lanjut.

Apakah Anak Tidak Mau Kontak Mata Mengalami Autisme?

Apakah anak tidak mau kontak mata berarti mengalami autisme? Jawabannya: belum tentu. Pasalnya, ada banyak faktor lain yang bisa membuat anak enggan melakukan kontak mata, mulai dari kepribadiannya yang pemalu, kelelahan sehingga tidak fokus, rasa tidak nyaman di lingkungan baru, hingga kondisi medis tertentu yang mengganggu fokus penglihatan.

Meski demikian, penting untuk diketahui bahwa menghindari kontak mata adalah salah satu tanda autisme pada anak. Tapi, biasanya gejala ini muncul bersamaan dengan beberapa ciri lainnya, seperti:

  • Speech delay

  • Tidak merespons ketika dipanggil namanya

  • Lebih senang bermain sendiri daripada bersama teman sebaya

  • Sering mengulang kata, suara, atau gerakan tertentu (stimming)

  • Kesulitan memahami ekspresi wajah atau perasaan orang lain

Jika beberapa gejala autisme ini muncul secara konsisten di berbagai situasi, Bapak & Ibu sebaiknya segera melakukan evaluasi lebih lanjut dengan tenaga profesional. Dengan begitu, anak bisa mendapatkan penanganan yang sesuai sejak dini.

Mengapa Anak dengan Autisme Sering Menghindari Kontak Mata?

Banyak penelitian menunjukkan ada beberapa alasan mengapa anak dengan autisme menghindari kontak mata:

  • Terlalu banyak stimulasi sensorik

Bagi anak dengan autisme, menatap mata orang lain bisa terasa sangat terlalu intens, seolah-olah ada terlalu banyak informasi yang harus diproses sekaligus sehingga membuat mereka kewalahan.

  • Rasa cemas atau tidak nyaman

Kontak mata dapat memicu rasa gugup berlebih. Misalnya, saat orang tua mengajak bicara serius, anak menoleh ke samping atau menunduk karena merasa cemas, tidak nyaman, atau takut salah menjawab.

  • Kesulitan memahami sinyal sosial

Anak dengan autisme sering kali kesulitan memahami mimik wajah, nada suara, atau gerak tubuh lawan bicaranya. Karenanya, mereka tidak selalu tahu kapan harus menatap mata lawan bicara atau bagaimana merespons dengan tepat.

  • Fokus pada hal lain

Beberapa anak sangat terfokus pada objek atau aktivitas tertentu, seperti mobil mainan atau menyusun balok, sehingga perhatiannya terhadap lingkungan sekitar berkurang. Akibatnya, mereka tidak merasa perlu melakukan kontak mata meski sedang dipanggil.

Dengan memahami alasan-alasan ini, Bapak & Ibu bisa lebih lembut dalam merespons dan mencari cara yang sesuai untuk membantu anak. Misalnya, mengurangi rangsangan, memberi waktu, atau melatih kontak mata secara bertahap dalam situasi yang nyaman.

Cara Membantu Anak dengan Autisme Melatih Kontak Mata

Kontak mata memang bisa menjadi hal yang sangat sulit dilakukan bagi anak dengan autisme. Tapi, orang tua tetap bisa melatih anak secara bertahap, menyenangkan, dan konsisten. Berikut beberapa strategi yang bisa dicoba:

1. Puji anak saat tidak sengaja melakukan kontak mata

Saat anak tidak sengaja menatap mata, berikan senyum hangat atau kata-kata positif seperti, “Wah bagus sekali kamu melihat Ibu.” Pujian ini membantu anak mengaitkan kontak mata dengan pengalaman yang menyenangkan.

2. Ajak anak berbicara hal yang mereka suka 

Anak akan lebih mudah melakukan kontak mata ketika membicarakan hal yang mereka sukai, misalnya mainan kesayangan atau kartun favorit.

3. Latih kontak mata dalam rutinitas sehari-hari 

Latih kontak mata dalam momen sederhana seperti saat makan bersama, bermain, atau membaca buku. Cara ini membuat latihan terasa alami, bukan seperti tugas khusus.

4. Manfaatkan mainan atau benda sebagai perantara

Pegang mainan atau benda favorit anak, dan arahkan ke dekat wajah orang tua agar anak terdorong menoleh ke arah mata Bapak & Ibu secara perlahan.

5. Jangan memaksa 

Jangan memaksa anak untuk melakukan kontak mata. Biarkan mereka melakukannya dengan nyaman dan natural. Memaksa anak hanya akan membuat mereka semakin menolak.

Blubridge Center, Penyedia Terapi ABA untuk Anak dengan Autisme

Jika Bapak & Ibu merasa si kecil menunjukkan tanda-tanda autisme, termasuk sulit melakukan kontak mata, segeralah berkonsultasi dengan dokter spesialis anak, psikolog anak, atau tenaga profesional lainnya. Langkah ini sangat penting agar anak bisa mendapatkan terapi yang tepat lebih awal. 

Blubridge Center hadir sebagai pusat terapi Applied Behavior Analysis (ABA) di Surabaya yang fokus mendukung tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus, terutama autisme. Melalui terapi ini, anak akan dibimbing secara bertahap untuk:

  • Mengembangkan keterampilan komunikasi, seperti kontak mata dengan lawan bicara, merespons panggilan nama, hingga menyampaikan kebutuhannya.

  • Belajar memahami interaksi sosial, mulai dari bermain bersama, menunggu giliran, sampai mengenali ekspresi wajah orang lain.

  • Meningkatkan kemandirian, seperti makan sendiri, merapikan mainan, atau mengikuti rutinitas harian sesuai usianya.

Adapun, keunggulan Blubridge Center sebagai pusat terapi ABA di Surabaya adalah:

  • Dedicated terapis dan Board Certified Behavior Analyst (BCBA) yang berpengalaman dalam mendampingi anak.

  • Personalized therapy yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi unik masing-masing anak.

  • Evidence-based method yang terbukti efektif secara ilmiah.

Dengan demikian, anak-anak dengan autisme bisa menunjukkan perkembangan yang signifikan dalam komunikasi, interaksi sosial, maupun aktivitasnya sehari-hari.

Segera Hubungi Kami untuk Berkonsultasi

Meski terlihat sederhana, kontak mata punya peran besar dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Memang benar bahwa tidak semua anak yang sulit melakukan kontak mata pasti mengalami autisme, tapi jika tanda ini muncul bersama gejala autisme lainnya, Bapak & Ibu perlu waspada.

Karena itu, jangan ragu menghubungi admin Blubridge Center untuk membuat janji konsultasi dan segera daftarkan anak ke program terapi ABA. Bersama, mari kita dukung anak agar tumbuh dan berkembang sesuai potensinya.


Referensi:

https://www.fortahealth.com/resources/lack-of-eye-contact-in-children-with-autism

https://www.autismspeaks.org/expert-opinion/autism-eye-contact

https://www.magnetaba.com/blog/how-aba-therapy-helps-improve-communication-skills

8 Cara Mengatasi Anak Tantrum, Orang Tua Harus Tahu!

anak perempuan sedang tantrum

Tantrum adalah bagian dari fase perkembangan anak yang sering membuat orang tua kewalahan. Saat tantrum, anak bisa menangis kencang, berguling di lantai, atau bahkan sampai melempar barang. Situasi ini tentu sangat melelahkan.

Namun, sebagai orang tua, Bapak & Ibu perlu memahami bahwa tantrum sebenarnya bukan perilaku “nakal”, melainkan cara anak mengekspresikan diri ketika mereka belum mampu menyampaikan perasaan, keinginan, atau kebutuhannya dengan kata-kata.

Dalam artikel ini, kami akan menguraikan apa saja pemicu tantrum, bagaimana cara mengatasi anak tantrum dengan tepat, serta cara mencegahnya agar anak bisa belajar menyalurkan emosinya dengan lebih sehat.

Alasan Tantrum pada Anak

Tantrum pada anak biasanya bukan suatu hal yang muncul begitu saja, tetapi disebabkan oleh alasan tertentu. Dengan memahami hal ini, Bapak & Ibu bisa lebih bijak dalam merespons tantrum anak tanpa langsung terbawa emosi.

  • Escape (melarikan diri dari situasi yang tidak disukai)

Anak bisa tantrum karena ingin lepas dari aktivitas yang menurut mereka sulit, membosankan, atau membuat tidak nyaman. Misalnya, saat diminta membereskan mainan, mandi, atau mengerjakan tugas sekolah. Alih-alih berkata, “Aku capek, aku nggak mau,” anak justru menangis keras, berteriak, atau menolak dengan tantrum. Ini adalah cara mereka melarikan diri dari situasi yang tidak mereka sukai.

  • Attention-seeking (mencari perhatian)

Ada kalanya anak tantrum hanya karena ingin diperhatikan. Misalnya, saat Bapak atau Ibu sedang sibuk dengan ponsel atau pekerjaan rumah, tiba-tiba anak menangis keras atau menjatuhkan barang. Meski terlihat merepotkan, bagi anak ini adalah cara efektif untuk memastikan dirinya kembali menjadi pusat perhatian.

  • Tangible reinforcement (mendapatkan sesuatu yang diinginkan)

Ketika anak menginginkan sesuatu, seperti mainan di toko atau camilan di minimarket, lalu orang tua berkata “tidak”, mereka bisa langsung tantrum. Hal ini karena anak belum sepenuhnya bisa menerima penolakan. Reaksi yang muncul biasanya berupa tangisan keras, berguling di lantai, atau berteriak. Semua ini adalah upaya anak untuk meluluhkan hati orang tuanya agar memberikan apa yang mereka mau.

  • Sensory stimulation (mengatasi rangsangan sensorik)

Tantrum juga bisa muncul karena faktor sensorik yang membuat mereka tidak nyaman. Misalnya, suara musik di mal yang terlalu bising, lampu kamar terlalu terang, atau tekstur pakaian yang tidak nyaman. Anak melakukan tantrum untuk mengekspresikan ketidaknyamanan tersebut.

Cara Mengatasi Anak Tantrum

Saat anak tantrum, wajar bila orang tua merasa kewalahan dan bingung bagaimana menenangkan mereka. Namun, penting untuk diingat bahwa reaksi Bapak & Ibu sangat berpengaruh pada bagaimana anak belajar mengelola emosinya. Nah, berikut ini adalah beberapa cara mengatasi anak tantrum yang bisa dicoba:

  • Tetap tenang dan jangan terpancing emosi

Anak belajar mengelola perasaan dengan melihat orang tuanya. Jika Bapak & Ibu ikut marah, anak justru akan semakin sulit tenang. Sebagai contoh, ketika anak berteriak di rumah karena tidak mau berhenti main, cobalah tarik napas dalam-dalam dan tunjukkan sikap tenang. Dengan begitu, anak bisa melihat contoh yang baik dan perlahan ikut lebih tenang.

  • Pindahkan anak ke tempat yang aman

Jika tantrum membuat anak berpotensi melukai diri sendiri atau orang lain, segera arahkan ke tempat yang lebih aman. Misalnya, ketika anak melempar mainan di ruang tamu, ajak ia ke kamar agar tidak mengenai orang lain.

  • Validasi perasaan anak

Saat anak tantrum, tunjukkan bahwa Bapak & Ibu memahami emosinya. Ucapan sederhana seperti, “Ibu tahu kamu kesal karena mainannya diambil,” bisa membuat anak merasa dimengerti meski tetap harus belajar menerima situasi.

  • Alihkan perhatian anak

Setelah emosi agak mereda, tawarkan aktivitas lain yang lebih menenangkan. Misalnya, ajak anak menggambar atau membaca buku favoritnya agar fokusnya beralih.

  • Biarkan anak sejenak

Kadang, cara terbaik menghadapi tantrum adalah dengan tidak terlalu banyak memberi respons. Hindari memberi perhatian berlebihan karena hal itu justru bisa membuat tantrumnya semakin menjadi. Biarkan anak duduk di kamar atau di sudut ruangan selama beberapa menit sampai ia lebih rileks. Namun, pastikan untuk tetap mengawasinya agar anak tetap aman dan tidak melukai dirinya sendiri.

  • Segera hentikan perilaku agresif

Jika tantrum sudah melibatkan tindakan yang membahayakan, seperti memukul, menendang, atau melempar benda keras, orang tua perlu segera menghentikannya. Misalnya, dengan memegang tangannya dan berkata tegas, “Berhenti, ini bisa melukai orang lain.”

  • Peluk anak

Saat amarah mulai reda, pelukan hangat bisa membantu anak merasa aman. Pelukan bisa menjadi “obat mujarab” yang menenangkan anak setelah menangis lama.

  • Tetap tegas dalam aturan

Tetap tegas dengan aturan dan jangan mudah luluh hanya karena ingin anak berhenti menangis. Jika anak tantrum di minimarket karena tidak dibelikan permen, konsistenlah dengan jawaban awal. Bila Bapak & Ibu mengalah, anak akan belajar bahwa tantrum adalah cara efektif untuk mendapatkan keinginannya.

Kesalahan Umum Orang Tua yang Harus Dihindari

Ketika anak tantrum, sangat wajar jika Bapak dan Ibu merasa lelah, kesal, atau bingung harus berbuat apa. Namun, ada beberapa hal yang tanpa disadari justru bisa memperburuk tantrum anak:

  • Membentak atau menggunakan kekerasan

Banyak orang tua refleks menaikkan suara atau bahkan memukul ketika anak tantrum. Namun, cara ini hanya membuat anak semakin takut, tertekan, dan sulit belajar mengendalikan emosinya. Contohnya, ketika anak menangis karena tidak mau berhenti bermain, membentaknya bisa membuat ia semakin histeris, bukan tenang.

  • Memberi apa yang anak mau agar cepat diam

Saat anak menangis minta mainan di toko, orang tua kadang akhirnya menyerah dan membelikan mainan tersebut agar tangisan berhenti. Sayangnya, hal ini justru mengajarkan anak bahwa tantrum adalah cara ampuh untuk mendapatkan keinginannya. Jika Bapak & Ibu tetap tegas, anak akan belajar bahwa ada aturan yang harus dipatuhi dan tidak semua keinginan bisa langsung dipenuhi.

  • Memberikan perhatian berlebihan

Ada kalanya anak tantrum karena ingin diperhatikan. Jika orang tua langsung panik, menenangkan berulang kali, atau terus-menerus menasehati di tengah tangisan, anak bisa menganggap tantrum sebagai cara efektif untuk menarik perhatian.

  • Tidak konsisten dalam menetapkan batasan

Anak akan bingung bila orang tua kadang tegas, tapi di lain waktu mudah mengalah. Misalnya, hari ini anak dilarang makan permen sebelum makan malam, tapi besok orang tua mengizinkan hanya karena takut anak menangis. Ketidakkonsistenan ini membuat anak sulit memahami aturan dan lebih sering tantrum untuk menguji batas.

Cara Mencegah Anak Tantrum

Tantrum anak sebenarnya bisa dicegah. Strategi ini umumnya disebut antecedent strategy, yaitu upaya yang dilakukan sejak awal agar anak tidak sampai masuk ke situasi yang memicu ledakan emosi.

Beberapa cara mencegah anak tantrum yang bisa Bapak & Ibu lakukan, antara lain:

  • Buat rutinitas yang konsisten

Anak akan merasa lebih aman ketika tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Misalnya, rutinitas tidur malam yang selalu sama dapat mengurangi tantrum sebelum tidur.

  • Berikan pilihan sederhana

Daripada langsung menyuruh, coba berikan dua pilihan, misalnya: “Mau pakai baju biru atau merah?” Cara ini membuat anak merasa punya kendali sehingga lebih kooperatif.

  • Sampaikan instruksi dengan jelas dan singkat

Anak cenderung bingung bila instruksi terlalu panjang. Gunakan kalimat sederhana seperti, “Sekarang waktunya sikat gigi.”

  • Berikan penguatan positif ketika anak berperilaku baik

Saat anak berhasil menunggu giliran atau merapikan mainan tanpa tantrum, jangan lupa untuk memberi pujian, hadiah, atau penguatan positif lainnya agar ia termotivasi mengulangi perilaku tersebut.

  • Kenali pemicunya

Pemicu tantrum pada setiap anak berbeda. Ada yang tantrum ketika lapar, ada juga yang tantrum karena terlalu lama menunggu. Jika orang tua sudah tahu pemicunya, langkah pencegahan bisa lebih mudah dilakukan.

Dengan menerapkan strategi ini secara konsisten, frekuensi tantrum biasanya akan berkurang cukup signifikan, dan anak pun belajar cara yang lebih sehat untuk mengekspresikan emosinya.

Kapan Anak Memerlukan Bantuan Profesional?

Tantrum sebenarnya hal yang normal dalam perkembangan anak. Namun, jika tantrum terjadi sangat sering, berlangsung lama, atau disertai perilaku agresif seperti memukul, menggigit, atau melukai diri sendiri, maka sudah saatnya orang tua mencari bantuan profesional.

Di sinilah Blubridge Center hadir sebagai pusat terapi anak tantrum di Surabaya yang dapat membantu Bapak & Ibu. Melalui terapi Applied Behavior Analysis (ABA), setiap anak akan mendapatkan bimbingan yang terarah namun tetap disesuaikan dengan kebutuhan pribadinya.

Lantas, apa saja pendekatan yang digunakan Blubridge Center untuk memastikan terapi ABA efektif mendukung tumbuh kembang anak?

  • Analisis ABC (Antecedent–Behavior–Consequence): Membantu mengidentifikasi apa yang memicu suatu perilaku, bagaimana perilaku itu muncul, dan apa konsekuensinya, sehingga anak bisa diajarkan respons yang lebih adaptif.

  • Penguatan positif: Setiap keberhasilan anak, sekecil apa pun, diapresiasi melalui pujian atau hadiah sederhana agar ia semakin termotivasi untuk mengulang perilaku positif.

  • Program terapi yang dipersonalisasi: Setiap anak adalah individu yang unik, karenanya terapi disusun sesuai dengan kekuatan, tantangan, dan tujuan perkembangan masing-masing anak.

Dengan pendekatan ini, terapi ABA di Blubridge Center tidak hanya mengurangi perilaku tantrum pada anak, tetapi juga membantu mereka menguasai keterampilan baru yang lebih bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Jika Bapak & Ibu merasa membutuhkan bantuan profesional untuk mengurangi perilaku tantrum sang buah hati, jangan ragu untuk menghubungi admin kami. Buat janji konsultasi sekarang dan daftarkan anak ke program terapi ABA agar tumbuh kembangnya lebih optimal.


Referensi:

https://howtoaba.com/functions-of-behaviour/

https://kidshealth.org/en/parents/tantrums.html

https://www.parents.com/toddlers-preschoolers/discipline/tantrum/a-parents-guide-to-temper-tantrums/#toc-how-to-handle-toddler-tantrums

https://www.discoveryaba.com/aba-therapy/managing-tantrums-with-aba

Apakah Autisme pada Anak Bisa Sembuh? Ini Faktanya!

anak dengan autisme sedang menyusun balok mainan

Setiap orang tua tentu mendambakan buah hatinya tumbuh sehat, ceria, dan berkembang sesuai tahapan usianya. Namun, ketika seorang anak mendapat diagnosis autisme dari dokter atau tenaga profesional, wajar bila orang tua merasa kaget, bingung, cemas, bahkan takut akan masa depan sang buah hati. Tak mengherankan pula jika orang tua akan selalu mempertanyakan: “Apakah anak saya bisa sembuh?” 

Pertanyaan ini sangatlah wajar, Bapak & Ibu. Sebab, tidak ada orang tua yang siap mendengar anaknya memiliki kondisi khusus. Justru karena cinta dan kepedulian yang besar, orang tua berusaha mencari jawaban dan jalan terbaik untuk mendukung perkembangan anak.

Melalui artikel ini, kami akan membantu memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai apa itu autisme, apakah autisme bisa sembuh, serta bagaimana terapi dan dukungan yang tepat dapat membawa perubahan positif bagi anak maupun keluarga.

Apa Itu Autisme?

Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan saraf yang memengaruhi kemampuan anak dalam berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Hingga kini, penyebab autisme masih belum diketahui secara pasti. Para ahli berpendapat bahwa autisme bisa disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan yang kompleks, tetapi belum ada satu penyebab tunggal yang jelas.

Gangguan ini umumnya disebut “spektrum” karena gejalanya yang sangat beragam. Ada anak dengan gejala autisme ringan sehingga ia tetap bisa mandiri dalam aktivitas sehari-hari. Namun, ada juga anak dengan gejala autisme yang lebih kompleks sehingga membutuhkan dukungan intensif dalam belajar, bersosialisasi, maupun mengurus dirinya sendiri.

Adapun, beberapa gejala autisme pada anak yang sering terlihat adalah:

  • kesulitan melakukan kontak mata atau menjalin percakapan dengan orang lain,

  • cenderung mengulang-ulang kata, kalimat, atau aktivitas tertentu (perilaku repetitif),

  • memiliki minat yang sangat terbatas dan fokus pada hal-hal tertentu saja,

  • terlihat kesulitan beradaptasi dengan perubahan rutinitas atau lingkungan baru, dan

  • masih banyak lagi.

Untuk lebih memahami pengertian dan gejala autisme selengkapnya, silakan baca artikel berikut

Sebagai orang tua, sangat penting untuk memahami bahwa setiap anak dengan autisme itu unik. Mereka memiliki kekuatan, tantangan, dan cara belajar yang berbeda-beda. Ada anak yang mungkin lebih mahir dalam hal visual atau logika, sementara yang lain lebih sensitif terhadap suara, cahaya, atau rangsangan tertentu. 

Dengan dukungan yang tepat, seperti terapi yang tepat dan peran aktif keluarga, banyak anak dengan autisme dapat mengembangkan potensi dan keterampilan mereka secara optimal.

Apakah Autisme pada Anak Bisa Sembuh?

Sebagai orang tua, Bapak dan Ibu tentu pernah berharap bahwa autisme pada anak bisa disembuhkan dengan obat atau operasi. Namun, penting untuk dipahami bahwa autisme bukanlah sebuah penyakit. Autisme adalah kondisi gangguan perkembangan saraf yang bersifat seumur hidup. Dengan kata lain, autisme tidak bisa disembuhkan.

Meski begitu, kabar baiknya, dengan intervensi dini, terapi yang tepat, serta dukungan konsisten dari keluarga dan lingkungan terdekat, gejala autisme dapat berkurang, keterampilan anak bisa meningkat, dan kualitas hidupnya bisa jauh lebih baik.

Anak dengan autisme bisa belajar berkomunikasi lebih efektif, mengembangkan kemampuan sosial, serta menemukan minat dan bakat yang menjadi kekuatan dirinya. Beberapa anak bahkan dapat menjadi sangat mandiri dalam menjalani aktivitasnya sehari-hari.

Jadi, alih-alih memandang autisme sebagai sesuatu yang harus “disembuhkan”, lebih bijak bila orang tua melihatnya sebagai kondisi yang membutuhkan pendekatan khusus. Dengan pemahaman, kesabaran, dan terapi yang tepat, anak dengan autisme bisa berkembang sesuai potensinya dan memiliki masa depan yang cemerlang.

Pentingnya Diagnosis Dini dan Intervensi Awal

Mengenali tanda-tanda autisme sejak dini bisa membuat perbedaan besar dalam perkembangan anak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa intervensi yang dilakukan lebih awal membantu anak mencapai perkembangan yang lebih baik, mulai dari kemampuan kognitif yang meningkat hingga keterampilan berkomunikasi dan berinteraksi sosial.

Di usia balita, otak anak masih dalam tahap perkembangan sehingga anak lebih mudah beradaptasi dan menyerap hal-hal baru dengan lebih cepat. Inilah yang membuat terapi, seperti pelatihan komunikasi dan pengembangan keterampilan sosial, lebih efektif bila diberikan sejak usia dini. Semakin cepat intervensi diberikan, semakin besar pula kesempatan anak untuk mengembangkan kemandirian dan kualitas hidupnya.

Karena itu, jika Bapak & Ibu mulai melihat tanda-tanda autisme pada si kecil, sebaiknya segera berkonsultasi dengan dokter atau tenaga profesional. Langkah ini penting agar anak bisa memperoleh diagnosis yang tepat serta segera mendapatkan dukungan yang sesuai untuk tumbuh kembangnya secara optimal.

Bagaimana Terapi ABA Membantu Mengurangi Gejala Autisme pada Anak

Salah satu terapi yang paling banyak digunakan dan terbukti efektif untuk mendukung anak dengan autisme adalah Applied Behavior Analysis (ABA). Terapi ini dirancang untuk membantu anak membentuk perilaku positif sekaligus mengurangi perilaku yang menghambat perkembangannya. Intinya, terapi ABA berfokus membantu anak menjadi lebih mandiri serta membangun keterampilan yang dibutuhkan dalam kesehariannya.

Dalam praktiknya, ada dua pendekatan utama dalam ABA:

  • Positive Reinforcement
    Setiap kali anak berhasil melakukan keterampilan tertentu, anak diberi penguatan positif seperti pujian, pelukan, atau hadiah kecil. Cara ini membuat anak lebih termotivasi untuk mengulang perilaku baik yang sudah dipelajarinya.

  • ABC Method (Antecedent – Behavior – Consequence)
    Terapis menganalisis pemicu yang menyebabkan perilaku (antecedent), perilaku yang muncul (behavior), dan konsekuensi setelahnya (consequence). Melalui pemahaman pola ini, anak diajarkan untuk merespons dengan cara yang lebih adaptif dan sesuai konteks.

Berkat metode yang terstruktur dan konsisten, banyak anak dengan autisme menunjukkan perkembangan yang signifikan setelah menjalani terapi ABA. Perkembangan tersebut bisa berupa peningkatan kemampuan berbicara, lebih mudah bersosialisasi dengan orang lain, hingga lebih percaya diri dalam melakukan aktivitas sehari-hari. 

Dengan begitu, terapi ABA tidak hanya membantu anak belajar keterampilan baru, tetapi juga memberi harapan bagi orang tua untuk melihat buah hatinya tumbuh lebih mandiri dan bahagia.

Blubridge Center: Mendampingi Anak dengan Terapi ABA di Surabaya

Untuk Bapak & Ibu yang sedang mencari tempat terapi ABA di Surabaya, Blubridge Center hadir sebagai partner yang siap mendampingi perjalanan anak. Kami percaya setiap anak itu unik, sehingga pendekatan yang diberikan juga harus sesuai dengan kebutuhannya.

Apa yang membuat Blubridge Center berbeda?

  • Terapis & BCBA (Board Certified Behavior Analyst) berpengalaman
    Anak akan didampingi oleh tim profesional yang memahami kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

  • Pendekatan berbasis riset (evidence-based method)
    Setiap program terapi dirancang dengan metode ilmiah yang terbukti efektif membantu perkembangan anak.

  • Program terapi yang dipersonalisasi
    Rencana terapi disusun sesuai kebutuhan unik setiap anak agar mereka bisa berkembang dengan cara yang paling tepat bagi dirinya.

Bapak & Ibu tidak sendiri dalam perjalanan ini. Bersama Blubridge Center, mari kita dukung anak untuk belajar, berkembang, dan tumbuh sesuai potensinya. Hubungi admin kami untuk membuat janji konsultasi dan segera daftarkan anak ke program terapi ABA di Blubridge Center.


Referensi:

https://www.autismspeaks.org/applied-behavior-analysis 

https://www.littleraysaba.com/blog/can-autism-be-cured 

https://www.biermanautism.com/autism-101/can-autism-be-cured/ 

https://blueabatherapy.com/autism/can-autism-go-away/ 

https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC7421097/

Mengenal Board Certified Behavior Analyst (BCBA)

Setiap orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan tentu ingin memberikan terapi terbaik untuk buah hatinya. Nah, di balik terapi Applied Behavior Analysis (ABA) yang sering direkomendasikan, ada sosok penting bernama Board Certified Behavior Analyst (BCBA) yang perannya sangat krusial dalam keberhasilan terapi. 

Siapa mereka, dan mengapa kehadirannya sangat penting untuk terapi dan perkembangan anak Anda? Simak penjelasan selengkapnya dalam artikel ini

Mengenal Board Certified Behavior Analyst (BCBA)

Board Certified Behavior Analyst (BCBA) adalah seorang profesional yang sudah mendapatkan sertifikasi internasional dalam bidang Analisis Perilaku Terapan (Applied Behavior Analyst/ABA). Sertifikasi ini diberikan oleh Behavior Analyst Certification Board (BACB), sebuah lembaga yang menetapkan standar profesional bagi para ahli terapi perilaku di seluruh dunia.

BCBA tidak hanya paham teori, tetapi juga sangat berpengalaman dalam menyusun program terapi perilaku yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak. Mereka adalah sosok yang memastikan setiap sesi terapi berjalan efektif, konsisten, dan benar-benar mendukung perkembangan si kecil. 

Dengan adanya BCBA, Bapak dan Ibu bisa lebih tenang karena anak mendapatkan pendampingan dari tenaga ahli yang memahami cara terbaik untuk membantu tumbuh kembangnya.

Syarat Menjadi BCBA

Menjadi seorang BCBA bukanlah hal yang mudah. Ada berbagai persyaratan ketat yang harus dipenuhi, seperti:

  • Pendidikan

Calon BCBA minimal memiliki gelar master dari program analisis perilaku yang terakreditasi. Alternatif lain, bisa dengan gelar pascasarjana di bidang terkait, kemudian mengikuti kursus khusus di analisis perilaku.

  • Pengalaman Praktik Langsung

Calon BCBA harus menyelesaikan minimal 1.500 jam praktik langsung di bidang analisis perilaku dengan bimbingan BCBA yang sudah berpengalaman. Selama praktik ini, mereka belajar langsung bagaimana mengevaluasi kondisi anak, menyusun rencana terapi, memantau perkembangan anak, dan bekerja sama dengan keluarga anak.

  • Ujian Sertifikasi

Setelah pendidikan dan pengalaman lapangan selesai, calon BCBA mengikuti ujian sertifikasi. Ujian ini berlangsung sekitar empat jam dengan 160 soal yang menguji pengetahuan tentang dasar-dasar analisis perilaku, cara merencanakan perubahan perilaku, hingga tanggung jawab terhadap klien.

Semua persyaratan dan proses yang ketat ini bertujuan untuk memastikan seorang BCBA benar-benar berpengalaman dan kompeten untuk menyusun program terapi yang aman, tepat, serta efektif bagi anak dengan kebutuhan khusus.

Tugas dan Tanggung Jawab BCBA

Lantas, apa saja tugas dan tanggung jawab BCBA dalam mendampingi proses terapi anak? Berikut adalah uraiannya:

  • Asesmen awal: BCBA akan mengevaluasi kebutuhan, kemampuan, dan tantangan yang dialami anak.

  • Menyusun program terapi: Berdasarkan hasil asesmen, BCBA menyusun program terapi yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap anak.

  • Supervisi terapis: Terapis yang mendampingi anak sehari-hari selalu bekerja di bawah arahan BCBA agar sesi terapi berjalan konsisten dan efektif.

  • Monitoring dan evaluasi: BCBA akan terus memantau perkembangan anak dan menyesuaikan program jika diperlukan agar hasil terapi optimal.

  • Edukasi untuk orang tua: BCBA juga membantu Bapak dan Ibu memahami terapi yang bisa diterapkan di rumah sehingga anak mendapatkan dukungan penuh dan berkesinambungan dalam kesehariannya.

Singkatnya, BCBA adalah sosok kunci yang memastikan setiap sesi terapi berjalan terarah, efektif, dan benar-benar mendukung perkembangan anak.

Blubridge Center, Pusat Terapi Anak di Surabaya

Anak dengan gangguan perkembangan pasti memiliki cara belajar yang unik dan membutuhkan pendekatan khusus. Oleh karenanya, Blubridge Center hadir untuk memberikan terapi yang menyenangkan dan terstruktur. 

Anak akan belajar melalui aktivitas yang menyenangkan, permainan, serta interaksi yang mendekatkan mereka dengan orang tua dan terapis. Semua program disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan unik setiap anak sehingga proses belajar terasa alami dan membebankan.

Lantas, apa saja keunggulan Blubridge Center lainnya?

  • Program yang sudah dipersonalisasi: Program terapi dirancang khusus agar sesuai dengan kebutuhan dan tujuan perkembangan tiap anak.

  • Terapis berpengalaman dan tersertifikasi dari IPAPI (Ikatan Profesi Analis Perilaku Indonesia): Terapis kami tersertifikasi IPAPI, lembaga resmi yang menjamin kualitas layanan analisis perilaku di Indonesia. Dengan keahlian ini, kami siap mendampingi buah hati Bapak dan Bunda dengan penuh kesabaran dan perhatian.

  • Pengawasan BCBA: Semua sesi terapi diawasi oleh Board Certified Behavior Analyst guna memastikan seluruh program tepat dan efektif untuk perkembangan anak.

  • Evidence-based method: Kami menggunakan terapi Applied Behavior Analysis (ABA) dan Verbal Behavior Therapy yang sudah terbukti secara ilmiah mendukung perkembangan anak.

  • Lingkungan ramah anak: Anak belajar di tempat yang nyaman, aman, dan menyenangkan, sehingga motivasi mereka untuk belajar selalu tinggi.

Kalau Bapak dan Ibu ingin memastikan anak mendapatkan terapi ABA atau Verbal Behavior Therapy dengan standar internasional yang disupervisi BCBA terpercaya, Blubridge Center adalah pilihan tepat. Jadi, jangan ragu untuk menghubungi admin kami sekarang juga untuk membuat janji konsultasi dan daftarkan anak agar bisa segera memulai perjalanan terapi yang tepat untuk masa depan mereka.

Referensi:

https://www.bacb.com/bcba/

https://www.psychology.org/resources/bcba-meaning-career-overview/

https://www.indeed.com/career-advice/career-development/how-to-become-bcba#:~:text=A%20graduate%20degree%20is%20the,4.