9 Jenis Terapi untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Setiap anak memiliki cara unik dalam tumbuh dan berkembang. Ada yang mampu berbicara dan berinteraksi dengan baik dalam waktu cepat, tetapi ada juga yang butuh waktu lebih lama untuk menguasai hal tersebut. Semua itu wajar karena perjalanan tumbuh kembang anak memang tidak selalu sama antara satu dengan yang lain. 

Namun, pada anak berkebutuhan khusus, proses tumbuh kembang bisa jadi sedikit lebih kompleks. Mereka mungkin memerlukan pendampingan khusus agar bisa berkembang secara optimal, baik dalam hal komunikasi, emosi, kemampuan belajar, maupun keterampilan sosial. Di sinilah peran terapi anak berkebutuhan khusus menjadi sangat penting.

Terapi anak berkebutuhan khusus adalah serangkaian metode yang dirancang untuk membantu anak mengatasi kesulitan tertentu, seperti kesulitan berbicara, bersosialisasi, mengontrol perilaku, hingga menggerakkan anggota tubuh. Karena setiap anak itu unik, maka pendekatan terapinya pun tidak bisa disamaratakan. Setiap program akan disesuaikan dengan kebutuhan dan karakter masing-masing anak.

Dalam artikel ini, kita akan membahas 9 jenis terapi anak berkebutuhan khusus yang paling umum digunakan di berbagai pusat tumbuh kembang. Kita juga akan mengulas fungsi, cara kerja, dan kapan sebaiknya terapi ini diberikan, agar orang tua bisa lebih memahami pilihan terbaik untuk mendukung perkembangan buah hati tercinta.

1. Terapi Perilaku (Behavioral Therapy)

Terapi perilaku atau behavioral therapy merupakan terapi yang berfokus untuk membantu anak membentuk kebiasaan dan perilaku positif, sekaligus mengurangi perilaku yang bisa menghambat proses belajarnya. Tujuan utamanya bukan sekadar mengubah perilaku anak, tetapi membantu mereka belajar cara baru untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan mengelola emosi dengan lebih baik.

Terapi ini cocok untuk berbagai karakter anak, terutama yang sedang belajar mengatur perhatian, mengembangkan fokus, mengelola emosi, maupun belajar keterampilan sosial dalam berperilaku sehari-hari. Melalui proses terapi yang bertahap dan konsisten, anak bisa belajar memahami perasaannya, mengatur reaksi mereka, serta berinteraksi secara lebih nyaman dengan orang lain di lingkungan rumah maupun sekolah.

Salah satu metode yang paling dikenal dalam terapi perilaku adalah Applied Behavior Analysis (ABA). Applied Behavior Analysis adalah pendekatan yang dapat membantu anak mempelajari keterampilan baru secara perlahan dan terstruktur. Dalam sesi terapi ABA, para terapis biasanya akan memberikan instruksi sederhana yang mudah diikuti, lalu memberikan penguatan positif (reward) setiap kali anak menunjukkan perilaku yang diharapkan, misalnya saat mereka mau berbagi mainan dengan teman, mengikuti arahan, atau mencoba berkomunikasi dengan orang lain.

Pendekatan ini membuat anak merasa dihargai dan termotivasi. Mereka belajar bahwa setiap usaha dan perilaku baik akan mendapatkan respon positif, sehingga muncul dorongan alami untuk terus mengulang hal-hal baik tersebut.

Terapi ABA telah terbukti sangat membantu anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD), terutama dalam meningkatkan kemampuan komunikasi, interaksi sosial, dan kemandirian sehari-hari. Namun, prinsip-prinsipnya juga bisa diterapkan untuk anak-anak lainnya, sesuai kebutuhan masing-masing.

2. Terapi Okupasi (Occupational Therapy) & Sensory Integration Therapy

Terapi okupasi atau occupational therapy adalah terapi yang bertujuan untuk membantu anak agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Terapi ini banyak diberikan pada anak dengan kesulitan fokus, mengelola emosi, down syndrome, autisme, cerebral palsy, gangguan koordinasi motorik, atau anak yang mengalami cedera dan membutuhkan pemulihan fungsi tubuh. 

Namun, tak terbatas pada itu saja, terapi okupasi juga bisa bermanfaat untuk anak yang tampak kesulitan melakukan kegiatan sederhana seperti memakai baju, menulis, atau mengatur waktu bermain dan belajar. Dalam praktiknya, terapi okupasi ini dapat membantu anak melatih berbagai aktivitas sehari-hari, seperti:

  • Mengenakan pakaian sendiri.

  • Mengatur waktu dan rutinitas harian.

  • Menggunakan alat makan dengan benar.

  • Menulis dan menggambar.

  • Berinteraksi di lingkungan sosial.

Semua kegiatan ini dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan disesuaikan dengan kemampuan serta kebutuhan spesifik setiap anak. Tujuan akhirnya adalah supaya anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang lebih mandiri, percaya diri, dan nyaman dengan lingkungannya.

Selain itu, di dalam terapi okupasi, sering pula diterapkan Sensory Integration (SI) Therapy atau terapi integrasi sensori. Pendekatan ini membantu anak mengelola dan merespons rangsangan dari pancaindra, seperti suara, sentuhan, cahaya, atau tekstur secara lebih baik. Beberapa anak bisa jadi memiliki kepekaan sensorik yang berlebih, misalnya mudah terganggu oleh suara keras atau merasa tidak nyaman ketika disentuh. Sedangkan, anak lainnya bisa jadi justru kurang peka terhadap rangsangan tertentu. 

Melalui sensory integration therapy, terapis akan mengajak anak bermain dengan aktivitas yang menstimulasi indra secara aman dan menyenangkan, seperti ayunan, bola terapi, atau permainan dengan berbagai tekstur. Tujuan akhirnya adalah untuk membantu otak anak memproses informasi sensorik dengan lebih teratur, sehingga anak dapat lebih tenang, memiliki keseimbangan tubuh yang baik, serta mampu mengatur emosi dan perilaku secara lebih stabil dalam kehidupan sehari-hari.

3. Fisioterapi (Physical Therapy)

Fisioterapi atau disebut juga physical therapy adalah jenis terapi yang berfokus untuk membantu anak menguatkan tubuh dan meningkatkan kemampuan geraknya. Terapi ini sangat penting bagi anak yang mengalami gangguan motorik, seperti cerebral palsy, hipotonia (otot lemah), atau keterlambatan perkembangan motorik.

Dalam sesi fisioterapi, anak akan diajak bermain sambil berlatih fisik, misalnya dengan senam ringan, peregangan, permainan keseimbangan, hingga latihan berjalan. Semua kegiatan dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan tentunya dipantau langsung oleh terapis profesional, agar tetap aman dan sesuai kemampuan anak.

Tujuan utamanya adalah untuk membantu anak mencapai tahapan gerak sesuai usianya, seperti duduk sendiri, merangkak, berdiri, hingga berjalan dengan lebih stabil. Selain memperkuat otot dan koordinasi tubuh, fisioterapi juga membantu anak menjadi lebih percaya diri saat beraktivitas sehari-hari.

Dengan latihan yang dilakukan secara rutin, anak akan memiliki kontrol tubuh yang lebih baik, bergerak dengan lebih leluasa, dan perlahan mampu menikmati aktivitas fisik seperti teman-teman seusianya.

4. Terapi Wicara (Speech Therapy)

Terapi wicara atau speech therapy merupakan salah satu jenis terapi anak berkebutuhan khusus yang berfokus pada pengembangan kemampuan komunikasi, baik komunikasi verbal maupun nonverbal. Terapi ini direkomendasikan bagi anak yang mengalami speech delay, gangguan artikulasi, gagap, atau kesulitan memahami bahasa.

Dalam pelaksanaannya, terapis wicara akan mengajak anak melakukan berbagai kegiatan menarik, seperti:

  • Bernyanyi atau bermain peran untuk mendorong anak berbicara lebih aktif.

  • Membaca buku bersama untuk memperluas kosakata.

  • Melatih anak untuk menyusun kalimat atau bercerita sederhana.

Speech therapy ditangani oleh speech language pathologist  dan berfokus pada mengajarkan anak bagaimana menggunakan bahasa untuk memenuhi kebutuhan dan berinteraksi. Dengan strategi ini, anak belajar bahwa kata-kata memiliki fungsi sosial yang penting, sehingga mereka lebih termotivasi untuk berkomunikasi.

Terapi wicara tidak hanya membantu anak berbicara lebih lancar dan artikulasi yang jelas, tetapi juga meningkatkan kemampuan memahami instruksi serta berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

5. Play Therapy

Play therapy merupakan bentuk terapi perkembangan anak yang dilakukan melalui aktivitas bermain terstruktur. Terapi ini dirancang khusus untuk anak-anak usia dini karena bermain adalah sarana utama mereka dalam belajar dan mengekspresikan emosi.

Dalam sesi play therapy, anak akan diajak bermain dengan menggunakan alat atau permainan yang bersifat terapeutik, seperti boneka, pasir, bermain peran (role play), atau permainan seni. Melalui permainan-permainan ini, anak akan dapat mengungkapkan perasaan, mengelola kecemasan, dan membangun kemampuan sosial secara alami.

Play therapy juga bisa membantu anak memahami situasi yang sulit, seperti rasa kehilangan, trauma, atau konflik di rumah. Dengan bimbingan terapis, anak akan belajar mengolah perasaan tersebut dengan cara yang sehat dan positif. Terapi ini sangat efektif bagi anak yang mengalami kesulitan beradaptasi, memiliki gangguan perilaku, atau memiliki masalah emosional tertentu.

6. DIR Floortime Therapy

DIR Floortime adalah terapi bermain yang bertujuan untuk meningkatkan perkembangan sosial emosi dan interaksi anak. Pendekatan terapi yang digunakan adalah child-led, yakni mengikuti minat anak agar tercipta interaksi yang bermakna

Metode ini dikembangkan oleh Dr. Stanley Greenspan untuk membantu anak dengan gangguan perkembangan, seperti Autism Spectrum Disorder (ASD), anak dengan tanda-tanda perkembangan yang belum teridentifikasi (undiagnosed), anak dengan kesulitan dalam interaksi sosial dan emosional, maupun anak neurotypical

Adapun, DIR merupakan singkatan dari:

  • D (Developmental): Memahami tahapan perkembangan emosi, sosial, dan berpikir pada anak yang saling berhubungan. 

  • I (Individual Differences): Menyesuaikan pendekatan dengan karakter dan kebutuhan unik setiap anak.

  • R (Relationship-Based): Membangun hubungan yang kuat antara anak, terapis, dan orang tua.

Dalam sesi DIR Floortime therapy, terapis dan orang tua berinteraksi serta melakukan kegiatan bersama anak di berbagai setting yang disesuaikan dengan minat anak untuk mendorong munculnya interaksi yang disengaja (intentional interaction). Aktivitas bermain ini bukan sekadar hiburan bagi anak, melainkan merupakan cara untuk memasuki dunia anak dengan mengikuti minatnya (child-led). 

Melalui pendekatan ini, anak dapat belajar meregulasi diri, terlibat (engage), serta membangun interaksi dua arah baik secara nonverbal (misalnya eye contact, joint attention, mengangguk, atau menggeleng) maupun secara verbal. 

Tujuan terapi ini juga dapat memperkuat pondasi akademik yakni kemampuan berpikir abstraksi melalui kegiatan bermain pretend play (mengaitkan 1 ide dengan ide permainan yang lain) Dengan pondasi ini, anak akan lebih siap untuk belajar, beradaptasi, dan menjalin hubungan yang positif dengan lingkungannya.

7. Remedial Teaching

Remedial teaching merupakan bentuk pembelajaran khusus yang dirancang bagi anak yang mengalami kesulitan akademik di sekolah. Terapi ini membantu anak memperkuat kemampuan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung. Anak yang membutuhkan remedial teaching biasanya memiliki hambatan belajar seperti disleksia, diskalkulia, atau kesulitan memahami pelajaran meskipun memiliki kecerdasan dalam batasan normal.

Dalam remedial teaching, terapis akan melakukan asesmen awal untuk mengetahui area kesulitan anak. Setelah itu, terapis akan menyusun program pembelajaran yang dipersonalisasi, baik secara individu maupun kelompok kecil. Metode dalam remedial teaching meliputi pengulangan materi, latihan tambahan, serta penggunaan media pembelajaran multisensori agar anak lebih mudah memahami konsep.

Dengan pendekatan yang terstruktur dan penuh empati, remedial teaching dapat membantu anak mengejar ketertinggalan akademik, membangun kepercayaan diri, dan kembali menikmati proses belajar.

8. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah jenis terapi psikologis yang bisa membantu anak mengenali cara berpikir negatif yang dapat mempengaruhi perasaan dan perilakunya, lalu mengubah cara berpikir tersebut menjadi lebih positif. Dengan kata lain, terapi ini mengajarkan anak untuk memahami bahwa pikiran, perasaan, dan tindakan itu saling berhubungan, dan ketika anak belajar mengatur pikirannya, maka perilaku serta emosinya pun akan ikut membaik. 

CBT sangat bermanfaat bagi anak yang mengalami kesulitan emosional seperti cemas berlebihan, mudah sedih, sulit mengontrol emosi, ADHD, atau gangguan perilaku lainnya. Dalam sesi terapi CBT, terapis akan membantu anak menyadari pikiran-pikiran yang tidak realistis atau terlalu keras terhadap diri sendiri, lalu menggantinya dengan pola pikir yang lebih positif dan sehat.

Misalnya, jika anak sering merasa, “Aku tidak bisa melakukan apapun dengan benar”, maka terapis akan membantu anak melihat sudut pandang lain, seperti “Aku memang belum bisa sekarang, tapi aku bisa belajar dan mencoba lagi.” Dengan cara ini, anak akan mulai belajar berbicara lebih baik kepada dirinya sendiri dan membangun rasa percaya diri yang lebih kuat.

Selain itu, terapi CBT juga melatih anak untuk menghadapi stres, mengelola emosi, dan beradaptasi dengan situasi baru dengan lebih tenang. Perlahan-lahan, anak akan belajar bahwa perasaan tidak nyaman bukan sesuatu yang harus dihindari, tapi bisa dikelola dengan cara yang sehat. Tujuan akhirnya adalah agar anak tumbuh menjadi pribadi yang lebih tangguh, berpikiran positif, dan mampu menghadapi tantangan sehari-hari dengan lebih percaya diri.

9. ACT (Acceptance Commitment Therapy)

Acceptance Commitment Therapy (ACT) adalah pendekatan terapi yang berfokus pada penerimaan diri, serta berfokus pada tindakan-tindakan yang sesuai atau selaras dengan nilai-nilai (values) yang dianut secara pribadi. Dalam konteks anak, terapi ACT mampu membantu anak memahami bahwa memiliki emosi seperti marah, takut, atau sedih adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang harus dihindari atau ditekan. Lewat terapi ini, anak diajak untuk mengenali pikiran dan perasaan mereka tanpa harus langsung mengubah atau melawannya. Dengan begitu, mereka bisa belajar bahwa emosi itu tidak berbahaya dan bisa dihadapi dengan cara yang lebih sehat dan positif.

Bagi banyak anak, terutama yang sedang belajar mengatur emosi atau menghadapi situasi baru, rasa cemas dan frustasi bisa muncul dengan mudah saat sedang beraktivitas. Terapi ACT ini dapat membantu anak menerima perasaan tersebut sebagai bagian dari pengalaman hidup, sambil tetap berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang penting atau berarti bagi mereka. Misalnya, ketika seorang anak merasa takut untuk tampil di depan kelas, terapis akan membantu mereka menyadari perasaan takut yang muncul tanpa menghakiminya, lalu perlahan mengajarkan langkah-langkah konkret agar mereka tetap bisa berani tampil meski ada rasa cemas di dalam diri.

Terapi ACT juga bisa membantu anak tumbuh dengan ketahanan emosional yang lebih kuat. Mereka akan belajar bahwa tidak apa-apa merasa takut, sedih, atau marah, yang penting adalah bagaimana mereka memilih bertindak setelah itu. Dengan bimbingan terapis dan dukungan orang tua, ACT menjadi jembatan bagi anak untuk mengenal dirinya lebih baik, menerima perasaannya dengan lapang, dan berani mengambil langkah kecil menuju perubahan yang positif.

Apa Terapi yang Tepat untuk Anak Anda?

Memilih terapi yang tepat bagi anak, tentu bukan hal yang bisa dilakukan sendirian oleh orang tua dan itu sangat wajar. Setiap anak memiliki kebutuhan dan cara belajar yang unik, sehingga jenis terapi yang dibutuhkan pun bisa berbeda-beda. 

Untuk menentukan terapi yang paling sesuai, diperlukan asesmen profesional dari tenaga ahli seperti psikolog anak, dokter anak, atau tim multidisipliner, yakni gabungan dari beberapa profesional yang bekerja bersama untuk memahami kebutuhan anak secara menyeluruh. 

Dalam proses asesmen ini, biasanya dilakukan beberapa langkah, seperti:

  • Observasi perilaku anak, baik saat bermain maupun berinteraksi.

  • Wawancara dengan orang tua untuk memahami riwayat perkembangan dan kebiasaan anak di rumah.

  • Penilaian terhadap kemampuan kognitif, motorik, sosial, dan emosional anak.

Hasil dari proses asesmen inilah yang kemudian menjadi dasar untuk merancang program terapi yang paling sesuai dan efektif bagi anak.

Perlu diingat, bahwa Bapak dan Ibu sangat disarankan untuk tidak menentukan terapi sendiri atau melakukan self-diagnosis berdasarkan informasi dari internet. Walaupun niatnya tentu baik, namun keputusan yang tidak tepat justru bisa membuat perkembangan anak berjalan lebih lambat atau bahkan menimbulkan kebingungan baru. Dengan pendampingan tenaga profesional, setiap langkah terapi dapat dipastikan aman dan benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan unik anak Anda.

Kesimpulan

Terdapat berbagai jenis terapi anak yang dapat membantu mendukung tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus, mulai dari terapi perilaku (ABA), terapi okupasi dan integrasi sensori, fisioterapi, terapi wicara (Verbal Behavior Therapy), hingga CBT dan play therapy. Setiap terapi memiliki tujuan dan manfaat yang berbeda, namun semuanya bertujuan sama, yaitu membantu anak mencapai potensi terbaiknya.

Sebagai pusat terapi anak profesional di Surabaya, Blubridge Center menghadirkan layanan terapi anak berkebutuhan khusus dengan metode ABA dan Verbal Behavior Therapy yang terbukti efektif dan berbasis penelitian (evidence-based).

Blubridge Center menerapkan pendekatan komprehensif melalui empat tahap pendampingan, yaitu sebagai berikut:

  • Asesmen awal: Dilakukan untuk memahami kebutuhan dan profil perkembangan anak.

  • Perencanaan program: Disusun secara individual berdasarkan hasil asesmen.

  • Pelaksanaan terapi: Dilakukan oleh terapis profesional yang terlatih dan berada di bawah pengawasan BCBA (Board Certified Behavior Analyst) dan psikolog klinis anak.

  • Monitoring dan evaluasi: Dilakukan secara berkala untuk menilai progress dan menyesuaikan strategi terapi sesuai perkembangan anak.

Keunggulan Blubridge Center meliputi tim terapis berdedikasi tinggi, penggunaan metode ilmiah, serta program terapi yang dipersonalisasi agar sesuai dengan karakteristik unik setiap anak. 

Perjalanan mendampingi anak berkebutuhan khusus memang membutuhkan kesabaran dan konsistensi, namun dengan dukungan terapi yang tepat, anak memiliki peluang besar untuk berkembang optimal. Jika Bapak dan Ibu ingin mengetahui terapi apa yang paling sesuai untuk buah hati Anda, tim profesional di Blubridge Center Surabaya siap membantu. Hubungi admin kami untuk membuat janji konsultasi dan segera daftarkan anak Anda ke Blubridge Center